Kumpulan Kisah - Kisah Teladan Dan Hikmah Dan Sejarah Islam
KH Cholil adalah Waliyullah yang sangat mempunyai pengaruh
paling besar pada saat sebelum hingga awal berdirinya Nahdlatul Ulama. Hal ini
terjadi karena sebab berguru kepadanya beliaulah, banyak santri-santri yang menjadi
pengasuh pondok pesantren besar di Indonesia dan tokoh-tokoh di NU pada awal
berdirinya.
Dalam catatan sejarah, banyak tokoh-tokoh pendiri NU adalah alumni
dari pondok pesantren yang diasuh oleh beliau yang bernama lengkap Kyai Kholil
bin Kyai Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai ‘Abdul Karim bin Kyai Muharram
bin Kyai Asral Karamah bin Kyai ‘Abdullah bin Sayyid Sulaiman yang merupakan
cucu dari Sunan Gunung Jati, salah satu Walisongo.
Kyai Cholil adalah seorang alim dalam Ilmu Nahwu, Ilmu Fiqh
dan tarekat. Beliau juga di kenal hafal al-Qur’an dan menguasai segala ilmunya.
Termasuk seni baca Al-qur’an tujuh macam (Qiroah sab’ah). Selain kelebihan
tersebut, beliau juga mempunyai kemampuan pada hal-hal yang tidak kasat mata
(tidak dapat di lihat) dan sebab kelebihan tersebut, umat Islam Indonesia
meyakini beliau adalah Waliyullah.
RIWAYAT HIDUP DAN KELUARGA
Lahir
Kyai Cholil terlahir pada tanggal 11 Jumadil Tsani 1235H
atau 27 Januari 1820M di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan,
Kabupaten Bangkalan, yang terletak di ujung barat pulau Madura, Propinsi Jawa
Timur.
Wafat
Kyai Cholil wafat pada 29 Ramadhan 1341H atau 14 Mei 1923M
pada usia 106 tahun karena usia lanjut.
Nasab Keturunan
KH Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian
hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani
telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH Abdul Lathif memohon
kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Cholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH
Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul
Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini
adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin
Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah
kalau KH Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan
Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.
Mbah Cholil (KH Muhammad Kholil Bangkalan Al-Maduri) adalah
titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan
Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga “Azmatkhan”
dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath.
Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam
Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath Al-Alawi
Al-Husaini.
KH Muhammad Kholil bin KH Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai
Abdul Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin
Sayyid Sulaiman. Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin
Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayyid Ali
Nurul Alam bin Sayyid Jamaluddin Al-Kubra.
Berikut ini adalah silsilah nasab Mbah Cholil. Terlebih
dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Sunan Kudus,
untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam)
“Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban
bangsa Arab.
Jalur Nasab Sunan Kudus (Ja'far Shadiq)
1. Mbah Cholil (Syeikh Muhammad Kholil) Kabupaten Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif (ayah KH Cholil Bangkalan). Dimakamkan
di Kabupaten Bangkalan.
3. Kyai Hamim (kakek KH Cholil Bangkalan). Dimakamkan di
Tanjung Porah, Lomaer, Kabupaten Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Kabupaten
Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela,
Labeng, Kabupaten Bangkalan.
7. Kyai Sulasi. Dimakamkan di Petapan, Trageh, Kabupaten
Bangkalan.
8. Kyai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis,
Kabupaten Bangkalan.
9. Kyai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter,
Kuayar, Kabupaten Bangkalan.
10. Kyai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di
Kuanyar, Kabupaten Bangkalan.
11. Kyai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”. Dimakamkan di
Pranggan, Kabupaten Sumenep.
12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal).
Dimakamkan di Kabupaten Sumenep.
13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel
Kota Surabaya.
14. Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus). Dimakamkan di Kudus.
15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Dimakamkan di Kudus.
16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja
Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban.
18. Sayyid Husain Jamaluddin. Dimakamkan di Bugis.
19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab,
India.
20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naseradab, India.
21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naseradab,
India.
22. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim,
Hadramaut, Yaman.
23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar,
Hadramaut, Yaman.
24. Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut,
Yaman.
25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut,
Yaman.
26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut,
Yaman.
27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut,
Yaman.
29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah,
Hadramaut, Yaman.
30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Irak.
31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Irak.
32. Al-Imam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah
Al-Munawwarah]].
33. Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah
Al-Munawwarah]].
34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah
Al-Munawwarah]].
35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah
Al-Munawwarah]].
36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di
Karbala, Irak.
37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad
Rasulullah. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah]]
Maka, dari jalur Sunan Kudus (Ja'far Shadiq), Mbah Cholil
adalah generasi ke-37 dari Rasulullah Saw.
Jalur Nasab Sunan Ampel (Raden Rahmat)
1. Mbah Cholil (Syeikh Muhammad Kholil) Kabupaten Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Kabupaten Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer,
Kabupaten Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Kabupaten
Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela,
Labeng, Kabupaten Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di
Petapan, Trageh, Kabupaten Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Kabupaten Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di
Kuanyar, Kabupaten Bangkalan.
10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan
di Sedayu Kabupaten Gresik.
11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung
Muria Kabupaten Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat,
Paciran Lamongan.
13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di
Ampel, Kota Surabaya.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Kabupaten Tuban. Disini nasab Nyai
Sulasi dan Kyai Sulasi bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Ampel (Raden Rahmat), Mbah Cholil
adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.
Jalur Nasab Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin)
1. Mbah Cholil (Syeikh Muhammad Kholil) Kabupaten Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Kabupaten Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer,
Kabupaten Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela,
Labeng, Kabupaten Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di
Petapan, Trageh, Kabupaten Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Kabupaten Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di
Kuanyar, Kabupaten Bangkalan.
10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib).
Dimakamkan di Giri, Kabupaten Gresik.
11. Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Kabupaten Gresik.
12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di
Giri, Kabupaten Gresik.
13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Di sini nasab Nyai Gede
Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin), Mbah
Cholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.
Jalur Nasab Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
1. Mbah Cholil (Syeikh Muhammad Kholil) Kabupaten Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Kabupaten Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Kabupaten
Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Kabupaten
Jombang.
8. Syarifah Khadijah.
9. Maulana Hasanuddin. Dimakamkan di Propinsi Banten.
10. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di
Kabupaten Cirebon.
11. Sayyid Abdullah Umdatuddin.
12. Sayyid Ali Nuruddin/ Nurul Alam.
13. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Di sini nasab Nyai
Khadijah dan Kyai Hamim Kholil bertemu.
Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah),
Mbah Cholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Saw.
Jalur Nasab Basyaiban
1. Mbah Cholil (Syeikh Muhammad Kholil) Kabupaten Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Kabupaten Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Kabupaten
Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Kabupaten
Jombang.
8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti
Hasanuddin).
9. Sayyid Umar.
10. Sayyid Muhammad.
11. Sayyid Abdul Wahhab.
12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13. Sayyid Muhammad.
14. Sayyid Hasan At-Turabi
15. Sayyid Ali.
16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
17. Sayyid Ali.
18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Di sini nasab keluarga
Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.
Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Mbah
Cholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Saw.
PENDIDIKAN
Pendidikan Masa Kecil
Sejak kecil, beliau mendapatkan pendidikan agama langsung
dari orang tua secara ketat. Kyai Cholil sejak kecil memang sudah mempunyai
sifat-sifat sebagai calon ulama yang berpengaruh besar. Di antara keistimewaan
beliau adalah kehausan akan ilmu, terutama dalam bidang ilmu Fiqh dan ilmu
Nahwu (ilmu tata bahasa Arab). Beliau sudah hafal Matan Alfiyah Ibnu Malik
(1,000 bait) mengenai ilmu nahu yang terkenal itu. Selanjutnya beliau juga seorang
hafiz al-Quran tiga puluh juz juga berkemampuan dalam qiraah tujuh (tujuh cara
membaca al-Quran).
Karena keinginan orang tuanya yang sangat kuat untuk
mendidik anaknya menjadi ulama, kemudian pada sekitar tahun 1850 an, Kyai
Cholil menuntut ilmu sebagai santri di Pondok pesantren Langitan, Kabupaten
Tuban yang di asuh oleh KH Muhammad Nur. Setelah merasa cukup, kemudian Kyai
Cholil melanjutkan menuntut ilmu menjadi santri di Pondok Pesantren Cangaan,
Bangil, Kabupaten Pasuruan. Setelah itu kemudian, beliau pindah ke Pondok
Pesantren Kebon Candi, Kabupaten Pasuruan dan juga menjadi santri di tempat Kiai
Nur Hasan yang masih termasuk familinya di Sidogiri.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer.
Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Cholil muda rela melakoni perjalanan yang
terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari
Keboncandi ke Sidogiri, beliau tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini
dilakukannya hingga dalam perjalanannya itu bisa khatam berkali-kali.
Menuntut Ilmu di Mekah
Beliau berkeinginan untuk menuntut ilmu di Mekah, maka Mbah
Cholil pun memutar otak untuk mencari jalan keluarnya, akhirnya beliau
memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh
pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama
nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Cholil juga menjadi “buruh” pemetik kelapa pada
gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang
diperolehnya tersebut beliau tabung.
Sedangkan untuk makan, Mbah Cholil menyiasatinya dengan
mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi
juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Cholil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Cholil
memutuskan untuk pergi ke Mekah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Cholil menikah
dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.
Setelah menikah, pada 1276 Hijrah atau 1859 Masehi
berangkatlah beliau ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa
tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk
makan selama pelayaran, konon, Mbah Cholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan
Mbah Cholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Di Mekah Kyai Muhammad Khalil al-Maduri bersahabat dengan
Syeikh Nawawi al-Bantani. Ulama-ulama dunia Melayu di Mekah yang seangkatan
dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (lahir 1230 Hijrah/1814 Masihi), Kyai Khalil
al-Manduri (lahir 1235 Hijrah/1820 Masihi), Syeikh Muhammad Zain bin Mustafa
al-Fathani (lahir 1233 Hijrah/1817 Masihi), Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa
al-Fathani (lahir 1234 Hijrah/1818 Masihi), Kyai Umar bin Muhammad Saleh
Semarang.
Di antara gurunya di Mekah ialah Syekh Utsman bin Hasan ad
Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syekh Mustafa bin Muhammad al-Afifi
al-Makki, Syekh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani dan masih banyak lagi.
Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima daripada sahabatnya Syeikh Nawawi
al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Kota Bima, Sumbawa).
Walau pun Syeikh Ahmad al-Fathani jauh lebih muda daripadanya, yaitu seumuran
anaknya, namun kerana tawadlunya, Kyai Muhammad Cholil al-Maduri pernah belajar
kepada ulama yang berasal dari Patani itu. Kyai Muhammad Khalil al-Maduri
termasuk generasi pertama mengajar karya Syeikh Ahmad al-Fathani berjudul
Tashilu Nailil Amani, tentang nahwu dalam bahasa Arab, di pondok-pesantrennya
di Bangkalan.
Karya Syeikh Ahmad al-Fathani yang tersebut kemudian berpengaruh
dalam pengajian ilmu nahu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga sekarang
masih banyak pondok-pesantren tradisional di Jawa dan Madura diajarkan kitab
itu.
Mengenai ilmu thariqat, Kyai Muhammad Cholil al-Maduri
belajar kepada beberapa orang ulama thariqat yang terkenal di Mekah pada zaman
itu, di antaranya daripada Syeikh Ahmad Khatib Sambas diterimanya baiah dan
tawajjuh Thariqat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Thariqat Naqsyabandiyah juga
diterimanya daripada Sayyid Muhammad Shalih az Zawawi dan ulama lainnya, di
antaranya termasuk kepada Syekh Utsman Dimyathi juga.
Sewaktu berada di Mekah untuk perbelanjaannya sehari-hari,
Kyai Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin risalah-risalah
yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahawa pada waktu itulah timbul
ilham antara mereka bertiga, iaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani (Syeikh Nawawi
al-Bantani), Kyai Muhammad Cholil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (KH
Muhammad Saleh Darat, Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf
Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura
dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu / Jawa yang digunakan untuk
penulisan bahasa Melayu.
Konon, selama di Mekah, Mbah Cholil lebih banyak makan kulit
buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi
teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Cholil antara lain:
Syeikh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syekh
Muhammad Yasin Al Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan
sikap keprihatinan temannya itu. Kebiasaan memakan kulit buah semangka
kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali,
salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
SANAD KEILMUAN
Para Guru
Di antara gurunya antara lain:
Syeikh Utsman bin
Hasan ad-Dimyathi (Thariqat Naqsyabandiyah)
Sayyid Ahmad Zaini
Dahlan
Syeikh Mustafa bin
Muhammad al-Afifi al-Makki
Syeikh Abdul Hamid
bin Mahmud asy-Syarwani
Syekh Ahmad Khatib
Sambassy (Thariqat Naqsyabandiyah dan Qadriyah)
Sayyid Muhammad
Shalih az-Zawawi (Thariqat Naqsyabandiyah)
Syeikh Nawawi
al-Bantani
Abdul Ghani bin
Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Silsilah Keilmuan dari para Imam
Sanad keilmuan KH Cholil Bangkalan sampai dengan KH Hasyim
Asy‘ari sebagai berikut:
1. Nabi Muhammad SAW
2. Sayidina Ali
3. Muhammad (Putra Sayidina Ali,dari istri kedua Kaulah bin
Ja’far)
4. Wasil bin Ato’
5. Amr bin Ubaid
6. Ibrohim Annadhom
7. Abu Huzail Al-Alaq
8. Abu Hasi Adzuba’i
9. Abu Ali Adzuba’i
10. Imam Abu Hasan Ala’asyari (Pendiri Faham
“AHLUSSUNNAHWALJAMA’AH”) 234H
Kitab yang ditulis: Kitab Maqolatul Islamiyin, Al Ibanah, Al
Risalah, Al-Luma’, dll
11. Abu Abdillah Al Bahily
12. Abu Bakar Al Baqilany
Kitab yang ditulis: Kitab At Tamhid, Al Insof, Al bayan, Al
Imdad, dll.
13. Abdul Malik Imam Haromain AlJuwainy
Kitab yang ditulis: Kitab Lathoiful Isaroh, As Samil, Al
Irsyad, Al Arba’in, Al kafiyah.
14. Abu hamid Muhammad AlGhozali atau Imam Ghazali
Kitab yang ditulis: Kitab Ihya Ulumuddin, Misyakatul
Anwar,Minhajul Qowim, Minhajul Abidin dll.
15. Abdul hamid Assyeikh Irsani
Kitab yang ditulis: kitab Al Milal Wannihal, Musoro’atul
Fulasifahdll.
16. Muhammad bin Umar Fakhruraazi,
Kitab yang ditulis: KitabTafsir Mafatihul Ghoib, Matholibul
‘Aliyah, Mabahisul Masyriqiyah, AlMahsul Fi Ilmil Usul.
17. Abidin Al Izzy
Kitab yang ditulis: Kitab Al Mawaqit Fi Ilmil Kalam.
18. Abu Abdillah Muhammad AsSanusi,
Kitab yang ditulis: Kitab Al Aqidatul Kubro dll.
19. Al Bajury
Kitab yang ditulis: KitabJauhar tauhuid dll.
20. Ad Dasuqy
Kitab yang ditulis: KitabUmmul Barohin, dll.
21. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
Kitab yang ditulis: Kitab Sarahjurumiyah, Sarah Al Fiyah,
dll.
22. Syekh Ahmad Khatib Sambassy Kalimantan
Kitab yang ditulis: KitabFathul ‘Arifin, dll.
23. Syeikh Nawawi al-Bantani
Kitab yang ditulis: Syarah Safinatunnaja, Sarah
Sulamutaufiq, dll.
Mayoritas Ulama Di Indonesia memakai Karangan Syeikh Nawawi
Albantaniy sebagai Kitab Rujukan.
24. Mahfudz At-Tarmasi
Murid beliau:
Arsyad Banjarmasin
KH Cholil
Bangkalan
Abdi Shomad
Palembang
25. KH Hasyim Asy’ari
PENERUS BELIAU
Murid
Sejak beliau menjadi pengasuh pondok pesantren di Bangkalan,
Madura, banyak pemimpin umat dan bangsa yang banyak di persiapkan oleh beliau.
Murid beliau yang menonjol antara lain:
- KH Hasyim Asy’ari
(pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama)
- KH Abdul Wahab
Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang)
- KH Bisri Syansuri
(pendiri Pondok-pesantren Denanyar)
- KH Makshum
(pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kyai Haji Ali
Ma’shum)
- KH Bisri Mustofa
(Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir
Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul “Al-Ibriz”
sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.)
- KH R As’ad Syamsul
Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).
- KH Muhammad Siddiq
: Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
- KH Muhammad Hasan
Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren
ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.
- KH Zaini Mun’im :
Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini
juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup
megah.
- KH Abdullah
Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan
para morphinis.
- KH Asy’ari :
Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.
- KH Abi Sujak :
Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.
- KH Ali Wafa :
Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai
ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.
- KH Mustofa :
Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
- KH Usmuni :
Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
KH Karimullah :
Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
- KH Manaf Abdul
Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
- KH Munawwir :
Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
- KH Khozin :
Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
- KH Nawawi :
Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat
berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat
hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut
diduga terdapat subhat.
- KH Abdul Hadi :
Lamongan.
- KH Zainudin :
Nganjuk
- KH Abdul Fatah :
Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung
- KH Zainul Abidin :
Kraksan Probolinggo.
- KH Munajad :
Kertosono
- KH Romli Tamim :
Rejoso jombang
- KH Muhammad Anwar
: Pacul Bawang, Jombang
- KH Abdul Madjid :
Bata-bata, Pamekasan, Madura
- KH Abdul Hamid bin
Itsbat, banyuwangi
- KH Muhammad Thohir
Jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
- KH Zainur Rasyid :
Kironggo, Bondowoso
- KH Hasan Mustofa :
Garut Jawa Barat
- KH Raden Fakih
Maskumambang : Gresik]
- Sayyid Ali Bafaqih
: Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.
Keturunan
JASA DAN KARYA BELIAU
Menyebarkan Ilmu ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai
tahun kepulangannya), Mbah Cholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan
Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang
dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi.
Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz
(hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Cholil dapat mendirikan sebuah
pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa
kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari
desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan
keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu
kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Cholil sendiri mendirikan pesantren
lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah
Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya
selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Cholil juga cepat memperoleh santri
lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau
Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari,
dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Cholil di samping dikenal sebagai ahli
Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), beliau juga dikenal sebagai orang yang
“waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal
yang terakhir ini, nama Mbah Cholil lebih dikenal.
Melawan Penjajah
Pada masa hidup Mbah Cholil, terjadi sebuah penyebaran
Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Cholil sendiri dikenal
luas sebagai ahli tarekat. Masa hidup Mbah Cholil, tidak luput dari gejolak
perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Cholil
melakukan perlawanan.
Pertama: beliau melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam
bidang ini, Mbah Cholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin
yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama
maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang
lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH Hasyim Asy’ari, Pendiri
Pesantren Tebuireng.
Kedua: Mbah Cholil tidak melakukan perlawanan secara
terbuka, melainkan beliau lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini
tergambar, bahwa beliau tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan
batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Cholil pun tidak keberatan
pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Cholil ditangkap
dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Cholil,
malah membuat pusing pihak Belanda, karena ada kejadian-kejadian yang tidak
bisa mereka mengerti, seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga
mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di
hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan
kepada Mbah Cholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya.
Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Cholil
untuk dibebaskan saja.
Mbah Cholil adalah seorang ulama yang benar-benar
bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam
dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam
suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Kiprahnya dalam Pembentukan NU
Peran Mbah Cholil dalam melahirkan NU pada dasarnya tidak
dapat diragukan lagi. Hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya,
KH Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian,
satu yang perlu digarisbawahi bahwa Mbah Cholil bukanlah tokoh sentral dari NU,
karena tokoh tersebut tetap pada KH Hasyim Asy’ari sendiri.
Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU,
ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi
yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah
seorang Kyai muda yang cukup ternama pada waktu itu: KH Abdul Wahab Hasbullah,
kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan
yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan
maupun dalam bidang pendidikan dan politik.
Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi
ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar
daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kyai
Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini
tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua
lapisan. Tak terkecuali dari KH Hasyim Asy’ari, Kyai yang paling berpengaruh
pada saat itu.
Namun, KH Hasyim Asy’ari awalnya tidak serta-merta menerima
dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, KH Hasyim Asy’ari
melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu
tak kunjung datang. Sementara itu, Mbah Cholil, guru KH Hasyim Asy’ari, yang
juga guru KH Abdul Wahab Hasbullah, diam-diam mengamati kondisi itu, dan
ternyata beliau langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih
terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini Kyai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan
tongkat ini kepadanya!” Kata Mbah Cholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.
“Baik, Kyai,” Jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kyai Hasyim ayat-ayat ini: Wamaa tilka
biyamiinika yaa Muusaa, Qaala hiya ‘ashaaya atawakka-u ‘alaihaa wa abusyyu
bihaa ‘alaa ghanami waliya fiihaa ma-aaribu ukhraa. Qaala alqihaa yaa Muusa.
Fa-alqahaa faidzaa hiya hayyatun tas’aa. Qaala Khudzhaa wa laa takhaf
sanu’iiduhaa shirathal uulaa wadhumm yadaka ila janaahika takhruj baidhaa-a min
ghairi suu-in aayatan ukhraa linuriyaka min aayatil kubraa,” Pesan Mbah Cholil.
As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kyai Hasyim,
dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kyai Hasyim. Mendengar ada utusan
Mbah Cholil datang, Kyai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan
tersebut benar adanya.
“Kyai, saya diutus Kyai Cholil untuk mengantarkan dan
menyerahkan tongkat ini kepada Kyai,” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27
tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung
menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kyai Hasyim.
“Ada Kyai,” Jawab As’ad. Kemudian beliau menyampaikan ayat
yang disampaikan Mbah Cholil.
Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kyai Hasyim
tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Mbah Cholil yang tua dan bijak.
Kyai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau beliau dan
teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan
Jam’iyah semakin dimatangkan.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah
berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu
hari, pemuda As’ad muncul lagi.
“Kyai, saya diutus oleh Kyai Cholil untuk menyampaikan
tasbih ini,” As’ad. “Kyai juga diminta untuk mengamalkan Yaa Jabbaar, Yaa
Qahhaar (lafadz Asma’ul Husna) setiap waktu,” Tambah As’ad.
Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan.
Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama
setelah itu, Mbah Cholil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah
belum juga bisa terwujud.
Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H, “jabang
bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (
NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana Kyai Hasyim menangkap isyarat adanya restu
dari Mbah Cholil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak
lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Mbah Cholil,
seorang Kyai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.
Tarekat dan Fiqh
Mbah Cholil adalah salah satu Kyai yang belajar lebih
daripada satu madzhab saja. Akan tetapi, di antara madzhab-madzhab yang ada,
beliau lebih mendalami madzhab Syafi’i di dalam ilmu fiqh.
Pada masa kehidupan Mbah Cholil, yaitu akhir abad-19 dan
awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan
antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan
sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan
lain-lain.
Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan
Mbah Cholil dalam tarekat, terbukti bahwa Mbah Cholil dikenal pertama kali
dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dan juga memberikan dan mengisi
ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, Mbah Cholil pun diakui sebagai salah satu Kyai
yang dapat menggabungkan tarekat dan fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu
melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syeikh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Mbah Cholil.
Memang, Mbah Cholil hidup pada masa penyebaran tarekat
begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan
memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Mbah Cholil. Namun demikian,
perbedaan antara Mbah Cholil dengan kebanyakan Kyai yang lainnya, bahwa Mbah
Cholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik
dan bid’ah bagi penganut tarekat. Mbah Cholil justru meletakkan dan
menggabungkan antara keduanya (tarekat dan fiqh).
Dalam penggabungan dua hal ini, Mbah Cholil mendudukkan
tarekat di bawah fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan
tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran
yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak
banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam
penggabungan tarekat dan fiqh oleh Mbah Cholil tersebut.
Jalur Pengasuhan Pesantren
Oleh sebab Kyai Muhammad Cholil cukup lama belajar di
beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah,
beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahu, fikah, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kyai
Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan,
sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Pondok-pesantren
tersebut kemudian diserahkan pimpinannya kepada anak saudaranya, sekaligus
adalah menantunya, ialah Kyai Muntaha. Kyai Muntaha ini berkahwin dengan anak
Kyai Muhammad Khalil bernama Siti Khatimah. Adapun beliau sendiri (Kyai Khalil)
mendirikan pondok-pesantren yang lain di Kota Bangkalan, letaknya sebelah Barat
kota tersebut dan tidak berapa jauh dari pondok-pesantrennya yang lama.
Jejak dan langkahnya dalam mengasus para santrinya tetap
menjadi monumen pada pejuang penerus dan pengikutnya, hingga di Indonesia kini
ada 6.000 lebih pondok pesantren yang sebagian besar mempunyai hubungan budaya
dengan NU.
KISAH TELADAN BELIAU
Santri yang Mandiri
Sebenarnya, bisa saja Mbah Cholil muda tinggal di Sidogiri
selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi
dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Cholil muda sebenarnya
berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa
ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.
Akan tetapi, Mbah Cholil muda tetap saja menjadi orang yang
mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di
Sidogiri, Mbah Cholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh
batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya
sehari-hari.
Sewaktu menjadi Santri Mbah Cholil telah menghafal beberapa
matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Di samping itu
beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam
Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).
Kemandirian Mbah Cholil muda juga nampak ketika beliau
berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke
Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali
ini, lagi-lagi Mbah Cholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya,
apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Membaca Yasin berkali-kali
Pada saat beliau masih menuntut ilmu di pondok pesantren
Kebon Candi dan belajar di KH Nur Hasan harus dilakukan dengan cara tidak
menetap, atau kalau dalam dunia santri di sebut santri kalong. Jarak antara
pondok pesantren Kebon Candi dan Rumah Kiai Nur Hasan sekitar 7 km. selama
perjalanan itu, beliau sambil membaca surat yasin sampai tamat berkali-kali.
Mensiasati Makan Gratis
Kyai Cholil muda adalah sosok pemuda yang mandiri. Pada saat
itu, dirinya ingin melanjutkan menuntut ilmu ke Mekah, Arab Saudi. Tetapi tidak
ingin meminta biayanya kepada orang tua. Untuk mewujudkan hal tersebut, Kiai
Cholil sebelum berangkat ke Mekah terlebih dahulu ngaji di pondok pesantren
Banyuwangi. Di pondok tersebut, beliau juga bekerja di kebun pengasuh pondok.
Dengan bekerja di kebun sebagai pemetik buah kelapa, beliau di bayar 2,5 sen
setiap pohon kelapa. Dengan penghasilan tersebut, uang yang didapatkannya di
tabung untuk biaya menuntut ilmu ke Mekah. Selain itu, untuk makan sehari-hari,
beliau menjadi khodim di dalem pondok pesantren dengan mengisi bak mandi,
mencuci pakaian dan melakukan pekerjaan yang lain. selain itu, Kiai Cholil juga
menjadi juru masak bagi teman-temannya, dengan seperti itu dirinya bisa
mendapatkan makan dengan gratis.
Hati-hati Ada Macan (Kisah Kehadiran KH Abdul Wahab
Hasbullah)
Pada suatu hari di bulan Syawal, KH Kholil memanggil semua
santri, kemudian beliau mengatakan; “Santri-santri sekalian.!! Untuk saat ini
kalian harus memperketat penjagaan pondok. Karena tidak lama lagi, akan ada macan
masuk ke pondok kita”.
Sejak itu, setiap hari semua santri melakukan penjagaan yang
ketat di pondok pesantren. Hal ini dilakukan karena di dekat pondok pesantren
ada hutan yang konon angker dan berbahaya, sehingga kuatir jika yang di maksud
macan akan muncul dari hutan tersebut.
Setelah beberapa hari ternyata macan
yang di tunggu-tunggu tidak juga muncul juga, sampai akhirnya sampai di minggu
ke tiga sampai juga belum muncul. Setelah masuk di minggu ke 3, Kyai Cholil
memerintahkan santri-santri untuk berjaga-jaga ketika ada pemuda kurus, tidak
terlalu tinggi dan membawa tas koper seng masuk ke komplek pondok pesantren.
Begitu sampai di depan rumah Kyai Cholil mengucapkan salam “
Assalamu’alaikum” ucap pemuda tersebut. Mendengar salam pemuda tersebut, Kyai
Cholil justru malah berteriak memanggil santri-santrinya.
“ Hai santri-santri, ada macan.. macan.. ayo kita kepung, jangan
sampai masuk kepondok” teriak Kiai Kholil. Mendengar teriakan kiai Kholil,
serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk
mengusir pemuda tersebut yang dianggap Macan. Para santri yang sudah membawa
pedang, celurit, tongkat, dan apa saja mengerubuti “macan” yang tidak lain
adalah pemuda tersebut. Muka pemuda tersebut menjadi pucat pasi ketakutan.
Karena tidak ada jalan lain, akhirnya pemuda tersebut lari meninggalakn komplek
pondok tersebut.
Karena tingginya semangat untuk nyantri ke pondok yang
diasuh oleh Kiai Kholil, keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren
lagi. Meskipun begitu, dirinya tetap memperoleh perlakuan yang sama seperti
sebelumnya. Karena rasa takut dan kelelahan akhirnya pemuda tersebut tidur di
bawah kentongan yang ada di mussola pondok pesantren. Ketika tengah malam,
dirinya dibangunkan dan dimarah-marahi oleh Kiai Kholil. Namun demikian,
setelah itu dirinya diajak oleh Kyai Cholil kerumah dan dinyatakan sebagai
salah satu santri dari pondok yang beliau pimpin. Sejak itu, remaja tersebut
sebagai santri pondok. Pemuda yang dimaksud diatas adalah Abdul Wahab atau
Abdul Wahab Hasbullah yang menjadi salah satu pendiri NU. Ternyata apa yang
dikatakan oleh Kiai Kholil, akhirnya Abdul Wahab Hasbullah benar-benar menjadi
“ Macan” NU.
Minta Didoakan Cepat Kaya
Pada suatu waktu, Kyai Cholil mempunyai tamu yang berasal
dari keturunan tionghoa yang terkenal dengan panggilan Koh Bun Fat, datang
untuk keperluan pribadinya. “Kiai, saya minta didoakan agar cepat kaya, karena
aku sudah bosan hidup miskin”. Kata Koh Fat yang sedang miskin. Setelah
mendengar niat tamunya tersebut, Kyai Cholil meminta Koh Bun Fat untuk
mendekat. Setelah mendekat, Kyai Cholil memegang kepala Koh Bun Fat dan
memegangnya erat-erat sambil mengucapkan. “Saatu lisanatan, Howang-howang,
Howing-Howing. Pak uwang huwang nuwang. Tur kecetur salang kecetur, sugih..
sugih..sugih!”.
Saat itu diucapkan oleh kiai Kholil, tidak ada satupun yang ada
memahami makna apa yang diucapkan oleh Kiai Kholil. Namun, dengan kata tanpa
makna itu, Koh Bun Fat justru beerubah menjadi pengusaha Tionghoa yang kaya
raya.
Pintu Rusak
Pada masa penjajahan, ada beberapa pejuang jawa yang
bersembunyi di komplek pesantren Demangan. Ternyata hal itu diketahui oleh penjajah
Belanda, sehingga mengirim tentara untuk memeriksa pondok tersebut. Tetapi
karena tidak menemukan para pejuang tersebut, Akhirnya mereka menangkap Kiai
Kholil. Belanda berharap dengan seperti itu, para pejuang jawa akan menyerahkan
diri. Tetapi yang terjadi malah membingungkan belanda karena banyaknya kejadian
yang terjadi terkesan aneh dan ganjil. Mula-mula, semua pintu tahanan tidak
bisa ditutup.
Ketika Kyai Cholil di masukan ketahanan. Hal ini membuat tentara
belanda harus berjaga siang dan malam agar tahanan tidak kabur. Hari-hari
selanjutnya, ribuan orang dari Madura dan jawa mengunjungi Kyai Cholil dengan
membawakan makanan. Kejadian tersebut tentu membuat Belanda pusing, akhirnya
Belanda membuat peraturan dilarang mengunjungi kiai Cholil. Ternyata peraturan
tersebut tidak menyelesaikan masalah, karena mereka yang datang akhirnya
berkerumun di sekitar rumah tahanan, bahkan ada yang meminta untuk ditahan
bersama Kiai Cholil. Karena tidak ingin pusing dan masalah menjadi besar,
akhirnya Kyai Cholil di bebaskan tanpa syarat apapun.
Tongkat dan Tasbih Ajaib
Berkaitan dengan cerita Kyai Cholil soal tongkat ajaib,
kejadian ini berkaitan langsung dengan sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU).
Pada saat itu, Kyai Wahab dalam berbagai kesempatan selalu menyosialisasikan
ide untuk mendirikan jam’iayah atau organisasi. Sebenarnya semenjak ide
tersebut disosialisasikan, tidak ada masalah yang menghalangi kecuali restu
dari KH Hasym Asy’ary. Karena beliau adalah guru dari Kyai Wahab sehingga
dirinya merasa perlu mendapatkan restu langsung. Ketika gagasan tersebut
dsampaikan, ternyata tidak langsung di setujui. KH Hasyim Asy’ari perlu
berhari-hari dan bulan untuk melakukan sholat Istikharah memohon petunjuk dari
Allah, namun harapan itu tidak kunjung datang.
Kyai Cholil sebagai guru KH Hasyim Asy’ari mengamati kondisi
tersebut. Kemudian beliau mengutus seorang santri yang juga masih cucunya
sendiri, As’ad untuk menghadapnya. “Saat ini Kiai Hasyim sedang resah, oleh
karena itu, antar dan berikan lah tongkat ini kepadanya” Kata Kyai Cholil
sambil memberikan tongkat yang dimaksud. “dan jangan lupa bacakan ayat ini
surat thoha As’ad.
Setelah itu, As’ad kemudian pergi ke Jombang untuk
menyampaikan pesan yang di bawanya serta menyampaikan tongkat. Hari berganti
bulan dan bersama perjalanan waktu, organisasi yang sudah dirintis oleh Kyai
Wahab belum juga terbentuk, sehingga Kyai Cholil mengutus As’ad yang kedua kali
dengan membawakan tasbih dan meminta KH Hasyim Asy’ari untuk mengamalkan Asmaul
Husna yang berbuyi “Ya-Jabbar- Ya Qohhar”. Setelah berjuang di bantu oleh
kiai-kiai lain, akhirnya nahdlatul Ulama berdiri pada tanggal 16 Rajab 1344 H/
31 Januari 1926, atau tepat 1 tahun setelah KH Cholil wafat yang jatuh pada
tanggal 29 Romadhon 1343 H.
Karomah Kewalian
Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna”
yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di
Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang
dimaksudkan ialah Mbah Cholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti
Mbah Cholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa
berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul
Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada
seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.
KAROMAH BELIAU
Lebah Gaib
Kekeramatan Mbah Cholil, yang sangat terkenal adalah pasukan
lebah gaib. Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk
menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah.
Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.
KH Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November 1945, Mbah
Cholil, bersama Kyai-Kyai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Kyai
Wahab dan Mbah Abas Buntet Kota Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya
untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk
menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern.
Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan Kyai-Kyai itu
bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Cholil
mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib
piaraannya. Disaat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar. Saat
konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan.
“Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa
mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama
yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” Papar KH
Ghozi, cucu KH Abdul Wahab Hasbullah ini.
Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Cholil, adalah kemampuannya
membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah
ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah
Cholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung
beliau basah kuyup,” Cerita KH Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau
menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada
seorang nelayan sowan ke Mbah Cholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat
perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Cholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi
pengajian, Mbah Cholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan
nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap
beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH Ghozi yang kini
tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika
Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh
Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Cholil Bangkalan termasuk salah satu
guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa.
Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh,
padahal beliau sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga
sembuh. Lalu beliau mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa
menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah beliau ke Madura yakni ke Mbah Cholil
untuk berobat. beliau dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak
ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan beliau bertemu dengan orang Madura yang
dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi
bersama-sama berobat ke Mbah Cholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai
penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Cholil,
muncullah Mbah Cholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata:
"Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian."
Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan
dan langsung lari tanpa beliau sadari sedang sakit. Karena Mbah Cholil terus
mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh.
Setelah Mbah Cholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.
Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk
Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering
mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling.
Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi.
Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah Cholil. Sesampainya
di rumah Mbah Cholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang mengajarkan
kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab
tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah
Cholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Cholil bertanya:
“Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu
dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada
memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada
kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah
Cholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma
zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan
tanda tanya.
“Ya sudah,” Jawab Mbah Cholil menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Cholil. Para
petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban
penangkal dari Mbah Cholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi
ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di
hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka
tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan
dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak
bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua
maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin
lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka
diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Cholil lagi. Tiba di kediaman Mbah
Cholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan
maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri
itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini
menjadi sasaran empuk pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan
menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Cholil, mereka
menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar.
Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan
hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.
Kisah Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu,
satu-satunya angkutan menuju Mekah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal
dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak,
tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya
akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya
tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar
untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya
anggur itu didapat juga.
Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur
itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya.
Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi
semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. beliau duduk
termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang
laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada
Mbah Cholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya
dengan tenang.
“Mbah Cholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana,
bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu
berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Cholil minta tolong padanya agar membantu
kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang
malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Cholil, langsung disambut
dan ditanya: “Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya
mulai awal hingga datang ke Mbah Cholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini
bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di
pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke
Mbah Cholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Cholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya
dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Cholil!” Ucap orang yang
menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah
Cholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya,
Mbah Cholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya
bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah
harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Cholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan
sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Cholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun
yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya
sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu
rapat-rapat,” Kata Mbah Cholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Cholil dengan
patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa
terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan.
Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya.
Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi,
dirinya sedang berada di atas kapal. Segera beliau temui istrinya di salah satu
ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan
senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang
dari arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang
dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah
Cholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia
baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar
biasa.
Belajar Secara Gaib
Mbah Cholil adalah guru utama yang mencetak banyak ulama
besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang
mengaku belajar secara gaib dengan Mbah Cholil. Banyak cara dilakukan untuk
belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salah satunya dengan
berziarah serta bermalam di makam beliau.
Seperti pernah dikisahkan KH Anwar Siradj, pengasuh PP Nurul
Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab Alfiyah, beliau mengalami
kesulitan. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan
kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.
KH Anwar Siradj sudah mencoba berguru kepada Kyai-Kyai besar
di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti
dikisahkan Ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), KH Anwar Siradj dapat
petunjuk, agar mempelajari kitab Alfiyah di makam Mbah Cholil.
Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh KH
Anwar Siradj ziarah di makam Mbah Cholil Bangkalan. Di makam itu dia
mempelajari kitab Alfiyah. ”Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal Alfiyah,” Jelas
Ustadz Salim.
Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah
ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Cholil meninggal, mengakui
kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara
fisik, melainkan pembimbing secara batin.
Berguru dalam Mimpi
Pada waktu Mbah Cholil masih muda, ada seorang Kyai yang
terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak
hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah
lain, termasuk Madura.
Mbah Cholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu,
terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan
dipersiapkan, maka berangkatlah Mbah Cholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan
harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu. Tetapi alangkah
sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kyai Abu Darrin
telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan
kepergian Kyai Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka
Mbah Cholil muda segera sowan ke makam Kyai Abu Darrin.
Setibanya di makam Abu Darrin, Mbah Cholil muda lalu
mengucapkan salam lalu berkata: “Bagaimana saya ini Kyai, saya masih ingin
berguru pada Kyai, tetapi Kyai sudah meninggal,” desah Mbah Cholil muda sambil
menangis.
Mbah Cholil muda lalu mengambil sebuah mushaf Al-Quran.
Kemudian bertawassul dengan membaca Al-Quran terus-menerus sampai 41 hari
lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kyai Abu Darrin dalam mimpinya.
Dalam mimpi itu, Kyai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Mbah
Cholil muda. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Mbah Cholil muda
serta-merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Kitab Alfiyah.
Santri Mimpi dengan Wanita
Pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari
Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa shalat Shubuh
berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar shalat Shubuh berjamaah bukan karena malas,
tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang
wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Mbah
Cholil, gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Mbah Cholil marah besar sambil
membawa sebilah pedang seraya berucap: “Santri kurang ajar.., santri kurang
ajar....!”
Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah
merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar
itu.
Shubuh itu Bahar memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi
bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai shalat Shubuh berjamaah, Mbah
Cholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya: “Siapa santri
yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Mbah Cholil dengan nada menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat
pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa
yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian
Mbah Cholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah
diketemukan lalu dibawa ke masjid.
Mbah Cholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata:
“ Bahar, karena kamu tidak hadir shalat Shubuh berjamaah maka harus dihukum.
Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini,” Perintah
Mbah Cholil.
Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput.
Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat
diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat
sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang
lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik.
“Alhamdulillah, sudah selesai Kyai,” Ucap Bahar dengan sopan
dan rendah hati.
“Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan
itu sampai habis!” Perintah Kyai kepada Bahar.
Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari
Mbah Cholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu
disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia.
Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di
nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Mbah Cholil seraya berucap:
“Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini,” Ucap Mbah Cholil sambil
menunjuk ke arah Bahar.
Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang
meninggalkan pesantren Mbah Cholil menuju kampung halamannya. Memang benar, tak
lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Mbah Cholil itu,
menjadi Kyai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di
Jawa Timur. Kyai beruntung itu bernama Kyai Bahar, seorang Kyai besar dengan
ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa
Timur.
Orang Arab dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang shalat Maghrib, seperti biasanya Mbah
Cholil mengimami jamaah shalat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan
Mbah Cholil mengimami shalat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang
Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan shalat, Mbah Cholil menemui
tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu.
Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab,
Habib menghampiri Mbah Cholil seraya berucap: “Kyai, bacaan Al-Fatihah Antum
(Anda) kurang fasih,” Tegur Habib.
Setelah berbasa-basi beberapa saat, Habib dipersilahkan
mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat Maghrib. Tempat wudhu ada di sebelah
masjid itu. “Silakan ambil wudhu di sana,” Ucap Mbah Cholil sambil menunjukkan
arah tempat wudhu.
Baru saja selesai wudhu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan
dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa
Arabnya yang fasih, untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu.
Meskipun Habib mengucapkan bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul,
namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudhu Mbah Cholil
datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu,
Mbah Cholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang
macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Mbah Cholil yang nampaknya kurang
fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, sang Habib paham
bahwa sebetulnya Mbah Cholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa
suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh
mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
Jawaban Mbah Cholil kepada Tamunya
Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat
dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maaliki
yaumiddin’, Maliki-nya dibaca ‘Maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim),
ataukah ‘Maliki’ (tanpa alif). Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya
sepakat untuk sama-sama datang ke Kyai Keramat, Mbah Cholil Bangkalan.
Ketika itu Kyai yang jadi maha guru para Kyai pulau Jawa itu
sedang duduk di dalam mushala. Saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke
Mushala sontak saja Mbah Cholil berteriak: “Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki
yaumiddin Habib,” Teriak Kyai Cholil Bangkalan menyambut kedatangan Habib
Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang
Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki Yaumiddin
ataukah Maaliki Yaumiddin itu. Demikian yang diceritakan Habib Luthfi bin Yahya
ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada kitab
Tafsir ath-Thabari.
Tongkat Mbah Cholil dan Sumber Mata Air
Suatu hari Mbah Cholil berjalan ke arah selatan Bangkalan.
Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di
desa Langgundi, tiba-tiba Mbah Cholil menghentikan perjalanannya. Setelah
melihat tanah di hadapannya, dengan serta-merta Mbah Cholil menancapkan
tongkatnya ke tanah.
Dari arah lobang bekas tancapan Mbah Cholil tadi,
memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan
karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa
dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu sampai sekarang masih
ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km
sebelah Selatan kompleks pemakaman Mbah Cholil Bangkalan.
Sumber:
- Guru ulama Jawa, Madura oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah
- Sya’roni As-Samfuriy, Indramayu 7 Rabi’ul Awwal 1434
- Manakib KH Cholil Bangkalan
- Dari beberapa website lainnya.